Ada
anak yang ketika kecil nakal sekali, saat dewasa justru menjadi orang besar
yang kehadirannya memberi manfaat bagi ummat manusia. Tetapi ini bukan berarti
untuk menjadi orang besar, masa kecilnya harus nakal. Imam Syafi’i
rahimahullah, semasa kecil menunjukkan antusiasme belajar yang sangat besar,
saat beranjak besar semakin berkobar-kobar semangatnya, dan di usia yang masih
amat belia, yakni 16 tahun,telah memiliki kepatutan untuk memberikan fatwa.
Sebuah kedudukan yang sangat tinggi bagi seseorang yang mendalami agama ini.
Beliau juga menjadi peletak dasar ushul fiqh yang sangat berpengaruh hingga
kini.
Tak
sedikit pula kita membaca dalam sejarah tentang orang-orang yang membawa
kerusakan di masa dewasanya, ternyata saat kecil telah menunjukkan perilaku
nakalnya. Bermula dari masa kecil yang tak tertangani dengan baik, keburukan
itu melekat padanya hingga masa dewasa. Ia rusak dan merusak orang lain.
Apa
yang ingin saya katakan dengan tulisan ini? Menyederhanakan masalah bahwa
kenakalan anak justru bermanfaat untuk keberhasilannya di masa dewasa,
merupakan kesimpulan yang terlalu gegabah. Sederhana itu memang tanda
kebijaksanaan (simplexveri
sigillum), tetapi terlalu menyederhanakan persoalan tanda kurang wawasan
dan dangkal berpikir. Sama
kelirunya menganggap kenakalan anak merupakan pertanda masa depan yang sangat
buruk. Ini juga terlalu menyederhanakan masalah.
Di
sebuah seminar, seorang bapak dari Dinas Pendidikan setempat
menyampaikan dengan sangat mantap. Ia berkata, “Anak nakal itu tidak ada.
Sekali lagi, tidak ada. Yang ada adalah over-kreatif.” Ini ungkapan yang indah,
memukau dan membodohkan. Jika benar kenakalan itu merupakan bentuk over
kreatif, maka mafhum mukhalafah-nya yang tidak
nakal pastilah menjadi orang-orang yang sangat kreatif. Tetapi yang kita jumpai
tidak demikian. Yang nakal, tidak kreatif. Yang tidak nakal pun sama: tidak
kreatif.
Bapak
yang terhormat tersebut melanjutkan perkataannya, “Kenakalan itu tidak ada.
Yang adalah over energi. Anak memiliki energi sangat besar, tetapi tidak tahu
bagaimana menyalurkannya.” Hmm…., bapak kita ini rupanya lupa bahwa salah satu
masalah serius kita adalah hilangnya gairah belajar sehingga seakan mereka tak
punya energi. Ditakut-takuti tidak takut, diiming-imingi tidak kepingin. Dan
ada anak-anak yang justru menunjukkan perilaku tidak mau mengikuti perintah
serta aturan. Semakin ia didorong melakukan, semakin
ia menunjukkan keengganan. Ia mengembangkan perilaku dawdling; makin disuruh, makin
malas ia bergerak.
Bedakan
Memahami dan Menjuluki
Belakangan
ini banyak orangtua maupun guru yang menghindari kata nakal dengan keyakinan
bahwa itu justru dapat menjadikan anak benar-benar nakal. Mereka bersibuk
menghalus-haluskan kata, mengindah-indahkan istilah sehingga justru semakin
membingungkan. Makin dihalus-haluskan, makin jauh dari makna aslinya dan bahkan
rancu dengan berbagai istilah lain.
Sesungguhnya
menghapuskan kata nakal samasekali berbeda dengan mengatasi kenakalan.
Kekhawatiran para pendidik terhadap istilah nakal agaknya bermula dari
kerancuan antara memahami kenakalan dengan menjuluki anak dengan sebutan nakal.
Keduanya sangat berbeda. Kita memang tak seharusnya memberi label negatif
dengan menjuluki anak sebagai nakal, bandel dan sejenisnya. Tetapi bukan
berarti kenakalan itu tidak ada. Sama halnya seorang da’i harus memahami
tentang berbagai bentuk kemaksiatan, tetapi bukan berarti ia patut berkata
kepada seseorang yang melakukan maksiat dengan ungkapan, “Wahai Ahli
Maksiat!”
Tetapi…
Sebagaimana
kita tidak boleh menutup mata bahwa kenakalan itu ada, orangtua maupun guru
juga tidak boleh gegabah menilai perilaku anak sebagai kenakalan. Kerap terjadi
apa yang dianggap sebagai kenakalan anak, sesungguhnya adalah keengganan
orangtua untuk mau berpayah-payah sedikit saja. Kadangkala yang bermasalah
ketika anak dianggap bertingkah justru kita selaku pendidik. Karenanya, kita
perlu berusaha memahami perilaku anak –termasuk kenakalan—dengan benar. Dan
memahami kenakalan tidak sama dengan menjuluki nakal kepada anak!
Ketahui
Sebabnya, Selesaikan Masalahnya
Secara
umum, ada empat sebab kenakalan anak. Kerap disebut juga tujuan anak melakukan
kenakalan, yakni memperoleh perhatian, motif kekuasaan, melakukan balas dendam
atau menghindari kegagalan.Yang disebut terakhir ini sebenarnya lebih merujuk
kepada kondisi ketika anak dituntut untuk sempurna, tetapi ia merasa tidak akan
sanggup memenuhinya, makaia bertindak nakal justru agar dimaklumi jika nantinya
gagal. Jadi, kenakalan merupakan pelarian ketika ia merasa tidak akan berhasil.
Tetapi orang lain melihat sebaliknya, yakni ia gagal karena nakal.
Tiap-tiap
jenis kenakalan memiliki ciri khas (karakteristik) yang berbeda-beda. Salah
satu kunci menyelesaikan masalah adalah dengan memahami betul ciri khas
kenakalan anak, sehingga dapat secara tepat memahami tujuan kenakalan anak.
Jika kita dapat memastikan tujuan kenakalan –dan itu hanya satu di antara
empat—maka akan lebih mudah bagi kita melakukan tindakan yang diperlukan untuk
mengatasi kenakalan tersebut.
Ada
kenakalan yang bersumber dari rumah, ada pula yang tidak. Ini kita perlu
ketahui agar dapat memetakan masalah dengan jelas. Dalam kasus kenakalan untuk
memperoleh perhatian, sumbernya bisa berasal dari rumah, bisa juga berasal dari
sekolah. Itu sebabnya, kadang ada anak yang baik di rumah, tapi di sekolah
memusingkan guru. Begitu pun sebaliknya, kita dapati kasus anak yang di rumah
bikin orangtua sakit kepala nyaris tiap hari, tapi di sekolah baik-baik saja.
Jadi, kenakalan karena ingin memperoleh perhatian umumnya muncul di tempat
dimana ia sangat menginginkan perhatian.
Yang
kadang dirancukan dengan motif memperoleh perhatian adalah
kenakalan karena anak melakukan
balas dendam. Bersebab kita menganggap sama, tindakan yang dilakukan orangtua
atau guru (jika kasusnya muncul di sekolah) juga cenderung serupa dengan
penanganan terhadap kenakalan karena ingin memperoleh perhatian. Ini berakibat
penanganan menjadi tidak efektif.
Perbincangan
tentang kenakalan karena ingin memperoleh perhatian dan kenakalan untuk
melakukan balas dendam hanyalah sekedar contoh. Saya hanya ingin menekankan
bahwa kita perlu mengetahui sebabnya dengan baik, memahami sumbernya, memetakan
secara tepat dan sesudah itu dapat mengambil langkah yang sesuai dengan jenis
kenakalan anak.
Semoga
perbincangan sederhana ini bermanfaat.
Oleh
: Mohammad Fauzil Adhim
Sumber : Fanpage Mohammad Fauzil Adhi
Sumber : Fanpage Mohammad Fauzil Adhi
Tidak ada komentar:
Write komentar